Ekspor sawit di Indonesia kini sedang menghadapi masalah yang cukup serius. Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta Kementerian Keuangan untuk menghapus bea keluar atas ekspor sawit menjelang Lebaran Idul Fitri 2023. Saat ini, bea keluar ekspor crude palm oil (CPO) ditetapkan sebesar US$52 atau Rp806 ribu per ton.
Padahal, zkspor produk sawit sangat penting bagi industri minyak goreng di dalam negeri. Ekspor ini membantu membiayai biaya distribusi minyak goreng, baik yang berkualitas standar maupun premium. Tanpa ekspor sawit, para produsen minyak goreng akan mengalami kerugian besar dan banyak di antaranya bisa saja gulung tikar.
Masalahnya, pasar ekonomi global saat ini sedang lesu, sehingga 6 juta ton CPO tidak bisa diekspor ke luar negeri. Tanpa insentif dan dengan kondisi pasar yang tidak menguntungkan, para pengusaha akan semakin kehilangan gairah untuk memproduksi minyak goreng.
Dua bulan lagi adalah Ramadhan, saat permintaan minyak goreng cenderung meningkat drastis. Tanpa ekspor sawit yang lancar, harga minyak goreng berpotensi melonjak dan kelangkaan akan terjadi.
Untuk mengatasi masalah ini, DMSI meminta Kementerian Keuangan untuk sementara menunda bea keluar ekspor sawit selama 3 bulan, dari Februari hingga April 2023. Dengan demikian, ekspor sawit bisa berjalan lancar dan membantu memenuhi permintaan minyak goreng selama Ramadhan.
Menghapus bea keluar ekspor sawit juga akan membantu Indonesia memenangkan persaingan dengan Malaysia. Dengan harga CPO yang lebih murah, Malaysia bisa saja mengejar ekspor sawit Indonesia dan memenangkan pasar global.
Dengan demikian, agar tidak terpecundang oleh Malaysia, DMSI meminta Kementerian Keuangan untuk segera menghapus bea keluar atas ekspor sawit selama 3 bulan ke depan. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa ekspor sawit bisa berjalan dengan lancar dan membantu memenuhi permintaan minyak goreng selama Ramadhan.