Perjuangan menolak swastanisasi air di DKI Jakarta sudah dilakukan sejak 2011. Saat itu para koalisi masyarakat Jakarta dan para LSM meminta pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan kerjasama pengelolaan air dengan pihak swasta.
Alasan warga menggugat pengelolaan air kepada swasta adalah karena mahalnya biaya untuk mendapatkan air bersih. Untuk itu, perwakilan warga yang berjumlah 14 orang menempuh jalur hukum. Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebelum adanya putusan MA, pada Februari 2015 majelis hakim menunda sidang putusan padahal Mahkamah Konstitusi telah membatalkan UU Sumber Data Air.
Kemudian pada pada 24 Maret 2015 majelis hakim yang dipimpin Iim Nurohman mengabulkan sebagian gugatan warga (citizen lawsuit) dan menyatakan kerjasama antara PDAM dan Pam Lyonnaise Jaya batal dan tidak berlaku.
Namun ditingkat banding pada Januari 2016 di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, perjuangan warga kandas karena majelis hakim menolak gugatan swastanisasi air yang diajukan warga.
Setahun kemudian, yakni pada Januari 2017 warga mengajukan kasasi ke MA yang terdaftar dengan nomor 31K/PDT/2017. Di tingkat kasasi tepatnya pada 10 April 2017 MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI. Putusan MA menyatakan bahwa pemprov DKI Jakarta harus stop swastaninasi air.
Putusan MA tersebut dibacakan oleh hakim ketua Nurul Elmiyah serta hakim anggota Sunarto dan Panji Widagdo. Pada putusan MA tersebut meminta pengelolaan air bersih di Jakarta harus sesuai dengan konvenen internasional serta Undang Undang No. 11 Tahun 2015.
Namun hingga kini warga masih menuntut Pemprov DKI Jakarta untuk menjalankan putusan MA terkait penghentian swastanisasi air. Pemprov menyatakan jika pihaknya ingin melaksanakan putusan tersebut secara serius.
Bahkan menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, penghentian swastanisasi air sedang dikaji oleh Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
Sebelumnya Gubernur Anies Baswedan juga menegaskan akan menjalankan putusan MA dan harus dipatui. Sedangkan pihak tergugat lain dari PT Aetra mengaku belum mengambil langkah lanjut mengenai putusan MA tersebut. Pihaknya mengaku masih terikat kontrak dengan pemprov DKI Jakarta hingga 2013.